Bahan Bakar Fosil dan Efek Rumah Kaca
Pernahkah Anda memperhatikan apa yang terjadi pada es batu di teh yang Anda minum di siang bolong? Tentu dia akan lebih cepat meleleh dan melebur menjadi air. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya es tidak tahan dengan panas. Baik itu es batu, es balok atau es dalam bentuk yang lainnya. Begitu juga dengan es yang masih membeku di kutub bumi seperti Antartika, jika bumi semakin panas maka es tersebut akan meleleh dan menenggelamkan sebagian besar kota-kota besar yang ada di bumi.
Lalu apa hubungannya dengan bahan bakar fosil? Kaitannya adalah, jika kita terus menerus mmenggunakan bahan bakar fosil, maka seluruh gunung es yang tersisa di Antartika akan meleleh. Air laut akan naik sebesar 200 kaki. Ini artinya banyak sekali pulau-pulau yang tingginya di bawah 200 kaki akan terendam dan bahkan hilang. Berbagai inovasi sudah dan terus diupayakan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil ini termasuk dengan mengalihkannya pada green energy.
Bahan bakar fosil didapat dari berbagai komponen di alam seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Saat pembakaran, bahan bakar tersebut mengeluarkan asap yang terdiri dari banyak karbon dioksida. Karbon dioksida yang menumpuk pada udara dan atmosfir berpotensial menimbulkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca atau pemanasan global terjadi saat panas matahari tidak bisa kembali memantul dan terjebak pada atmosfer bumi. Dengan demikian panas matahari seakan dilipatgandakan dan menyebabkan suhu semakin naik.
Bahan bakar fosil sendiri merupakan sumber daya alam tak terbarukan. Artinya apabila bahan bakar fosil habis, butuh waktu berjuta-juta tahun untuk membuatnya kembali. Sebuah penelitian oleh ahli iklim, Ken Caldeira menyatakan bahwa telah dibuktikan bahwa pembakaran batu bara, minyak dan gas telah menimbulkan hilangnya lapisan es di Antartika Barat. Begitu juga kemungkinan yang akan terjadi di lapisan es di Antartika Timur, bahkan malah lebih besar.
NASA memberikan kemungkinan berbeda dengan mengatakan bahwa pada abad depan, air laut akan berangsur naik hingga 30 cm. Hal tersebut memang terlihat cukup kecil jika dibandingkan dengan 600 cm seperti penelitian sebelumnya. Namun dengan naiknya permukaan laut sebesar 30 cm saja akan menimbulkan dampak yang cukup besar pada pulau-pulau kecil dan perangkat kerja NASA. Beberapa peniliti ilmu pengetahuan lain lebih memperkirakan bahwa sebenarnya mulai tahun-tahun belakangan ini air laut mulai naik dengan ketinggian 30 cm per tahunnya.
Maka berbagai alternatif seperti penggunaan kincir angin, tenaga matahari, panas bumi, bahkan tenaga nuklir pun perlu didukung untuk bisa dikembangkan oleh pemerintah di semua negara. Meskipun energi nuklir memiliki resikonya sendiri dan lebih berbahaya apabila tidak dapat ditangani dengan baik. Namun sumber energi tersebut tetap harus dikembangkan sebagai pengganti dari energi dari pembakaran bahan bakar fosil.